MENU
LAPOR HOAX

Berikut 3 Rekomendasi Transisi Energi Hijau dari Task Force Energy B20

4 Februari 2022

Berikut 3 Rekomendasi Transisi Energi Hijau dari Task Force Energy B20

Kabar BUMN -  Menjelang pertemuan tingkat tinggi G20 di Bali pada November 2022 mendatang, Task Force Energy, Sustainability & Climate telah menyiapkan tiga rekomendasi transisi energi hijau. Sebelum disampaikan pada pertemuan G20, tiga rekomendasi tersebut disepakati terlebih dahulu pada Inception Meeting Business 20 (B20) yang diselenggarakan secara virtual pada akhir Januari 2022. 

Nicke Widyawati, selaku Chair Task Force Energy, Sustainability and Climate juga menegaskan pentingnya transisi menuju energi hijau, sejalan dengan yang disampaikan Presiden Joko Widodo 

Menurut Nicke, transisi energi hijau merupakan tantangan besar bagi semua. Namun, di sisi lain hal ini juga merupakan peluang untuk menciptakan masa depan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Tentunya dengan menerapkan skenario dan peta jalan yang kuat, terutama pada aspek keuangan. 

“Task Force Energy, Sustainability and Climate B20, ini memiliki prioritas yang sama dengan G20 Indonesia, dimana kami harus menjadi katalisator pemulihan hijau yang kuat dan berjalan seiring dengan prinsip-prinsip ketahanan energi, pemerataan energi, dan kelestarian lingkungan,” ujar Nicke.

Nicke menuturkan, Task Force Energy, Sustainability and Climate memiliki 3 rumusan rekomendasi kebijakan untuk transisi energi berkelanjutan dengan fokus pada 3 isu prioritas.

3 Rekomendasi Transisi Energi Hijau dari Task Force Energy B20 (2)
3 Rekomendasi Transisi Energi Hijau dari Task Force Energy B20 (2)

Pertama, mempercepat transisi ke penggunaan energi yang berkelanjutan. Dalam poin ini dipastikan bahwa pemanasan global dibatasi maksimum 1,5 derajat Celcius. Topik utama yang telah diidentifikasi untuk pengembangan kebijakan adalah pengembangan industri bahan bakar alternatif seputar hidrogen dan biofuel. 

Kedua, memastikan transisi yang adil dan terjangkau. Hal ini berarti kerja sama global dalam mitigasi dampak dan dukungan untuk beradaptasi dengan perubahan. Kemudian yang ketiga, kerja sama global dalam peningkatan ketahanan energi. Di sini rumah tangga dan UMKM berperan sebagai sarana untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem dan mempercepat transisi energi ke penggunaan energi hijau yang berkelanjutan. 

“Ketiga isu prioritas tersebut akan menjadi dasar penyusunan Rekomendasi Kebijakan dari Task force Energy, Sustainabilty and Climate dengan mempertimbangkan isu-isu kritis lainnya seperti penetapan harga karbon, kerja sama global, mata pencaharian, dan pengembangan kelembagaan untuk pembiayaan dan adopsi teknologi,” imbuh Nicke. 

Bagi Nicke, energi juga merupakan kendala yang mengikat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, pengembangan ekonomi juga diperlukan untuk memulihkan ekonomi setelah terdampak pandemi Covid-19. Menurutnya, saat ini diperlukan satu tindakan yang mendesak dan terfokus untuk menyikapi berbagai kecenderungan global. Beberapa tindakan yang perlu diambil antara lain meningkatkan laju transisi energi masih tertinggal, mengatasi perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca antropogenik yang telah menjadi isu kritis serta pertumbuhan ekonomi memanfaatkan konsumsi energi bahan bakar fosil, yang berkontribusi besar atas sebagian besar emisi GRK.

Lebih lanjut lagi, Nicke juga menegaskan bahwa transisi menuju energi hijau perlu dipercepat secara global. Transisi energi hijau juga bisa dilakukan dengan cara tetap meningkatkan ketahanan dan pemerataan energi. Hal ini perlu dilakukan untuk untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan ekstrem. Selain itu, gap pembiayaan harus dijembatani, investasi harus dialihkan ke infrastruktur transisi energi dan dapat dibayarkan dengan penetapan harga karbon.

Selain itu, penting juga untuk memastikan kesetaraan, peningkatan akses, fan keterjangkauan energi bersih dan modern. Hal ini tidak hanya penting untuk kesuksesan transisi, tapi juga memberikan manfaat lingkungan, gender, dan ekonomi.

“Pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, elektrifikasi, dan efisiensi energi adalah pilar utama transisi energi, investasi teknologi dan sektor transisi energi semakin cepat. Namun, negara-negara berkembang tidak memiliki kerangka kerja, tata kelola yang mapan, pasar, layanan keuangan yang maju, tenaga kerja yang terlatih, dan akses ke teknologi canggih. Semuanya itu dimiliki oleh negara-negara maju dan diperlukan untuk perubahan tersebut,” imbuh Nicke. 

Agung Wicaksono selaku Deputy Chair Task Force Energy, Sustainability and Climate B20 dalam kesempatan Inception Meeting B20 juga menyampaikan bahwa melakukan survei dengan memasukkan 13 isu potensial. Hal ini dilakukan dalam rangka menggali masukan dari pelaku bisnis. Ke-13 isu potensial tersebut antara lain pembangunan kelembagaan, kerja sama global, sumber energi alternatif, laju diferensial per sektor, mencegah penguncian karbon baru, harga karbon, mitigasi dampak keuangan, mitigasi kehilangan mata pencaharian (penghidupan), kerangka kerja ESG yang terstandarisasi, memastikan transisi yang teratur, meningkatkan akses, keterjangkauan, dan adopsi teknologi pengguna akhir.

Agung melanjutkan bahwa hasil survei tersebut merupakan landasan bagi Task Force untuk merumuskan rekomendasi. Ia juga mengakui bahwa transisi energi hijau akan membutuhkan kerja sama global yang terstruktur dan berkomitmen dalam peningkatan kapasitas tata kelola, pengembangan pasar, penyaluran pembiayaan dan teknologi, serta peningkatan keterampilan tenaga kerja.

“Semangat, kerja keras, dan komitmen pertemuan ini terus berlanjut yang akan membawa perubahan global ke arah yang lebih baik pasca pandemi Covid-19, sehingga kita dapat Recover Together, Recover Stronger,” tandas Agung.